Dunia digital memang membawa banyak manfaat. Masyarakat menjadi lebih mudah terhubung dan akses mereka untuk mendapatkan informasi menjadi lebih luas.

Namun, dunia digital tidak steril dari hal-hal negatif. Hanya karena lebih mudah terkoneksi, sebagian orang bukannya semakin akrab tapi malah sering bertengkar. Begitu pula informasi, bukan hanya informasi yang benar yang bisa kita peroleh tapi juga yang palsu atau hoax.

Di tengah masyarakat yang semakin melek informasi seperti sekarang, pemahaman bahwa tidak semua informasi di internet valid dan bisa dipertanggungjawabkan harus dimiliki. Selain itu, kesediaan untuk bersikap kritis juga tak kalah penting.

Jika kita tidak memiliki pemahaman yang cukup tentang dunia digital maka kita akan menjadi sasaran empuk para pembuat hoax. Perlu kita sadari bahwa hoax, terlebih di tahun-tahun menjelang Pemilu seperti sekarang, ada yang sengaja dibuat, bahkan ‘diproduksi’.

Kita tak akan mudah melupakan hoax Ratna Sarumpaet tempo hari. Seperti kita tahu, hoax tersebut tak hanya menggegerkan masyarakat awam tapi juga elit politik di negeri ini. Yang menyedihkan, mereka tak hanya menelannya begitu saja tapi juga menjadikannya amunisi untuk menyudutkan Pemerintah.

Selain pemahaman yang baik tentang dunia digital, kesediaan untuk mencari informasi pembanding juga perlu. Seringkali seseorang tersulut emosinya karena menelan informasi yang didapatkannya dari satu jalur saja. Dengan mencari informasi dari sumber yang berbeda, kesimpulan kita tentang suatu isu akan bisa lebih obyektif.

Dalam acara Haul Gus Dur di Pondok Pesantren Tebuireng Jombang, Yenny Wahid menyampaikan kegelisahannya terkait maraknya hoax di Indonesia. Menurutnya, masyarakat tidak boleh diam saja. Siapa pun yang mengetahui adanya berita bohong atau hoax wajib meluruskan. Jika tidak, itu akan berakibat buruk bagi mereka.

Masih menurut Yenny, hoax juga bisa memicu radikalisme. Kalau kita cermati, masyarakat awam memang sering menjadi target indoktrinasi paham keagamaan yang intoleran. Para pelaku teror di berbagai daerah kebanyakan adalah masyarakat yang tidak pernah mengenyam pendidikan keagamaan yang intensif sebagaimana kalangan santri.

Keawaman masyarakat inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh para penganjur ideologi radikal untuk menyebarkan bibit-bibit intoleransi. Hanya dengan bumbu beberapa ayat atau hadis, masyarakat awam bisa mudah percaya dan masuk ke dalam lingkaran jaringan radikal itu.

Yenny memang tampak menaruh keprihatinan yang besar berkenaan dengan maraknya hoax di masyarakat. Ketika Saracen, sebuah komunitas di dunia maya yang sengaja membuat hoax untuk kepentingan bisnis, terungkap dan diciduk oleh aparat kepolisian pada 2017 lalu, ia sangat mengapresiasinya. Ia berharap, penangkapan kelompok tersebut dapat mengurangi kegaduhan di media massa.

 

*Diolah dari berbagai sumber. Foto: Instagram.