Dalam tulisan sebelumnya kita membincangkan kiprah KH. Marzuki Mustamar dan Gus Muwafiq. Kali ini kita akan mengetengahkan sepak terjang KH. Thobari Syadzili. Beliau adalah ulama asal Tangerang yang merupakan keturunan Syekh Nawawi Banten.

Syekh Nawawi adalah ulama Nusantara yang terkenal di Timur Tengah. Terutama di Hijaz (Mekah-Madinah). Kitab-kitabnya sampai sekarang dikaji di berbagai pesantren. Jejak hidupnya juga masih bisa ditelusuri di kampung halamannya, di desa Tanara, Banten.

Selain karya tulis, Syekh Nawawi juga mewariskan jalan dakwah kepada keluarga dan murid-muridnya. Tak mengherankan jika beberapa keturunannya juga menjadi ulama besar. Sebut saja KH. Ma’ruf Amin dan KH. Thobari Syadzili.

KH. Ma’ruf Amin kini semakin populer. Karena menjadi calon wakil presiden mendampingi Joko Widodo. Itu sebabnya, kali ini kita akan membahas tentang KH. Thobari Syadzili, yang kiprah dakwahnya banyak membuat ciut kaum Wahabi.

KH. Thobari Syadzili adalah pengasuh Pondok Pesantren Al-Husna, Tangerang. Beliau juga dipercaya menjadi Ketua Lajnah Falakiyyah PCNU Tangerang, Ketua Lajnah Falakiyyah PWNU Banten, Tim Nasional Kementerian Agama, dan sejumlah jabatan lain.

Sebagaimana sudah disinggung, Kyai Thobari kerap mengkritik pemahaman kelompok Salafi-Wahabi. Itu dilakukan karena kampanye anti tahlilan, maulidan, dan banyak kegiatan Ahlussunnah yang lain semakin agresif mereka lakukan.

Baca juga: Bendera Tauhid: KH. Marzuki Mustamar Mengklarifikasi Kesalahpahaman

Menurut Kyai Thobari, sudah saatnya warga NU mengimbangi propaganda kelompok-kelompok yang suka menyesatkan itu. Ini terutama berkaitan dengan amaliah Ahlussunnah, seperti tahlilan, tawassul, maulidan, ziarah kubur, dan lain-lain.

Hal tersebut bisa dilakukan adalah menyampaikan dalil-dalil yang ada di dalam Al-Quran, hadis, ijma’, dan qiyas kepada mereka. Dua dalil yang terakhir perlu ditekankan keabsahannya, sebab kelompok-kelompok tersebut sering mengingkarinya.

Bagi mereka segala persoalan dalam hidup ada jawabannya di dalam Al-Quran dan hadis. Padahal tidak demikian. Ulama besar yang hidup zaman dulu pun kerap menggunakan metode ijma’ dan qiyas dalam merumuskan hukum suatu hal.

Menurut Kyai Thobari, Al-Quran dan hadis itu pure science atau ilmu murni. Keduanya adalah sumber rujukan (mashadir) yang bisa digunakan ulama untuk menentukan status suatu perbuatan, apakah boleh atau tidak. Hasilnya adalah applied science atau ilmu terapan.

Ilmu yang berhubungan dengan ketuhanan kemudian dikenal dengan ilmu akidah atau ushuluddin. Ilmu yang berhubungan dengan kewajiban seorang muslim dikenal dengan ilmu fikih. Ilmu yang berhubungan dengan tindak laku manusia dinamakan ilmu akhlak atau tasawuf.

Kelompok-kelompok yang menolak amaliah Ahlussunnah menuduhnya tak memiliki dasar di dalam Al-Quran dan hadis. Padahal dalam kitab karya ulama-ulama zaman dulu semua itu diterangkan. Tentu saja dengan merujuk pada Al-Quran dan hadis.

 

Sumber foto: http://www.muslimedianews.com/2015/05/tiga-jam-bersama-kh-thobary-syadzily-al.html