Gus Dur tak bisa dilepaskan dari humornya. Sama dengan Presiden Soekarno dan pidatonya. Atau Presiden Soeharto dan Klompencapirnya.

Kebiasaan Gus Dur berkelakar mungkin disebabkan lingkungannya. Sejak remaja ia tinggal dengan orang-orang pesantren.

Secara sosial, banyak orang pesantren yang merupakan warga kelas bawah. Entah petani atau buruh.

Orang-orang itu biasanya egaliter. Hubungan satu sama lain setara. Baik dalam pertemanan maupun pekerjaan.

Relasi yang setara membuat komunikasi satu sama lain juga setara. Sehingga tak ada rasa sungkan, malu, atau pakewuh yang berlebihan.

Baca juga:

Jauh hari sebelum menjadi presiden, Gus Dur sudah dikenal gara-gara banyolannya. Humor-humornya melintas batas. Dikenal cerdik dan segar.

Itu mungkin karena guyonannya lekat dengan realitas yang aktual. Dan ia sesuaikan siapa audiensnya.

Para kyai hingga akademisi mengenalnya sebagai orang yang humoris. Begitu juga orang-orang pemerintahan dan para aktivis.

Ketika menjadi presiden, Gus Dur tak membatasi dirinya berkelakar. Berikut joke-joke Gus Dur yang pernah ia sampaikan pada atau terkait pemimpin negara lain.

Rambut Lee Kuan Yiew

Lee Kuan Yeuw, Perdana Menteri Singapura, punya tukang cukur pribadi. Suatu hari saat mencukur rambut sang Perdana Menteri, pesuruhnya itu bertanya.

‘Tuan, kapan masa jabatan Anda berakhir?”

Lee menjawab dengan bijaksana, ‘Terserah rakyat saja, Pemilu masih tiga tahun lagi.”

Tukang cukur diam dan melanjutkan pekerjaannya. Menggunting rambut sang Perdana Menteri yang semakin tipis. Tapi tak lama, ia mengulangi pertanyaan yang sama.

“Tuan, kapan masa jabatan Anda selesai?”

Lee masih bisa menahan kesabaran. Ia pun mengulangi jawaban sebelumnya.

Namun, si tukang cukur lagi-lagi mengulangi pertanyaannya. Dan baru setelah itu Lee naik pitam.

“Kamu kenapa sih? Mau jadi pemberontak, ya?!”

“Maaf, Tuan. Saya tak bermaksud apa-apa. Saya tak mengerti politik.”

“Lantas?”

“Ini soal teknis saja,” timpalnya. “Tiap saya sampaikan pertanyaan itu, rambut Tuan berdiri. Saya jadi lebih mudah memotongnya.”

Bungkus dan Isi

Pada tahun 2001 di Qatar, sejumlah pemimpin negara Islam berkumpul. Termasuk Presiden Abdurrahman Wahid dari Indonesia.

Di sana mereka sepakat untuk mengadakan pertemuan serupa secara rutin. Tujuannya untuk meningkatkan kerjasama multilateral. Di samping membicarakan problem yang melanda dunia Islam.

Para pemimpin itu sepakat bahwa pertemuan selanjutnya akan diadakan di Jeddah, Arab Saudi. Tapi Pangeran Abdullah (Arab Saudi) dan Presiden Pervez Musharraf (Pakistan) berselisih paham.

Akar masalahnya sepele. Pangeran Abdullah menyatakan pertemuan di Jeddah itu cukup disepakati saja, tanpa disebut dalam deklarasi. Sementara Presiden Musharraf sebaliknya. Alasannya, “untuk menjamin komitmen semua pihak”.

Keduanya berdebat sengit. Sampai-sampai Syeikh Hammad bin Khalifa Ats-Tsani, sang moderator pertemuan, bingung.

Akhirnya, Presien Abdurrahman Wahid menengahi.

“Ini soal bungkus dan isi,” jelas Presiden. “Deklarasi itu bungkus, komitmen kita isinya. Mari kita lebih mengedepankan isi. Karena isi itu biasanya lebih penting daripada bungkus. Contohnya: BH!”

Para hadirin tergelak. Syeikh Hammad yang sedang meremas-remas kertas tak sadar melemparnya ke arah Presiden. Lalu buru-buru mengampiri dan meminta maaf sambil mengelus-elus pundaknya.

Dan derai tawa peserta pertemuan pun semakin kencang.

 

*Saya ceritakan ulang dari situs Teronggosong.com.

**Setiap artikel/opini yang dimuat di NU Pinggiran menjadi tanggung jawab penulisnya. NU Pinggiran hanya kanal informasi dari setiap kontributor.