Malam belum begitu larut. Tapi santri-santri sudah selesai mengaji. Satu persatu mereka meninggalkan kelas. Kembali ke kamarnya.

Seperti biasa, malam itu Qowim dan saya tidur di masjid. Tempat favorit kami berdua. Bersama belasan santri dari kelas yang berbeda-beda.

Masjid di pesantren kami sangat lapang. Meski hanya beralas karpet tapi udara di dalamnya hangat. Entah kenapa. Sangat nyaman untuk berlindung dari udara dingin kota Malang.

Kami tak langsung memejamkan mata. Tapi bertukar cerita. Tentang apa saja. Termasuk hal-hal menyeramkan.

Qowim punya banyak cerita. Mungkin karena sejak SD ia masuk pesantren. Pergaulannya pun kebanyakan dengan santri-santri yang usianya lebih tua.

***

Suara santri-santri semakin lirih, pertanda sebagian sudah terlelap. Hanya terdengar satu atau dua anak yang masih bercakap-cakap. Itu pun tak jelas yang dibicarakan.

Lampu-lampu sudah padam. Bunyi lonceng jam tidur menenggelamkan kami ke dalam selimut masing-masing.

Saat itulah Qowim ingat sebuah cerita. Tentang seorang santri pernah tidur di dalam mihrab.

Saat itu libur tahun ajaran baru. Santri-santri banyak yang pulang. Hanya tersisa tiga sampai empat santri di tiap kelas.

Santri-santri yang tidur di masjid juga berkurang. Mungkin hanya tiga anak, dan mereka tidur berpencar.

Satu di pojok selatan dekat tempat wudhu. Satu di bawah jendela nako. Satu lagi, karena penasaran dengan mihrab yang berkarpet tebal, merebahkan tubuh di dalamnya.

Mereka tak saling sapa malam itu. Mungkin karena beda kelas. Mungkin juga karena sudah sama-sama mengantuk.

Gerimis tipis mengguyur area pesantren yang rindang oleh pepohonan. Kersik dedaunan dari ladang tebu yang tak seberapa jauh jaraknya terdengar. Ditemani suara serangga yang membuat malam justru terkesan semakin sepi.

Di kalangan para santri, tidur di mihrab adalah pantangan. Tidak ada larangan tertulis, memang. Juga tidak ada penjelasan tentang ini.

Entah kenapa mereka menghindarinya. Mungkin khawatir membuatnya terkena najis. Mungkin juga takut. Konon ada santri yang melihat seseorang duduk di dalamnya, malam-malam.

Jin penunggu? Wallahu a’lam. Yang jelas, malam itu ketakutan mereka terbukti beralasan.

Tak berapa lama, santri yang memutuskan rebah di mihrab itu tertidur. Badannya yang kurus meringkuk di sudut. Hanya ditemani bantal kumal dan sarung yang ia gunakan untuk selimut.

Sekira jam 1 pagi santri yang tidur di bawah jendela nako terbangun. Hasratnya untuk ke kamar mandi tak terbendung.

Sembari menahan kantuk ia melangkah keluar masjid. Dan persis sebelum melewati pintu sudut matanya menangkap bayangan santri yang tidur di mihrab tadi.

“Siapa itu?” batinnya.

Setelah selesai dengan urusan perutnya ia kembali. Langsung menuju tempatnya semula. Lagi-lagi ia menyempatkan melihat dari jauh santri yang tidur di mihrab.

Sudah tak ada orang …

“Sudah pindah, mungkin,” gumamnya dalam hati.

Keesokan pagi ketika tarhim akan berkumandang santri tersebut bangun dan membereskan perlengkapan tidurnya. Saat akan keluar masjid, matanya menangkap bantal dan sarung di mihrab. Tanpa pemiliknya.

Ia tak ambil pusing. Dan bersiap untuk jamaah subuh.

Karena musim liburan, tak banyak santri yang ikut jamaah. Mungkin hanya belasan. Ketika iqamah terengar mereka segera membentuk barisan. Membaca takbir, lalu tenggelam dalam syahdunya bacaan imam.

Di tengah-tengah mereka salat, sayup-sayup suara minta tolong terdengar. Semakin lama semakin jelas. Dan tampaknya mengarah ke masjid.

Dengan terengah-engah, seorang anak berlari di balik kegelapan. Suara tangis menenggelamkan jawabannya ketika para jamaah turun dari salat dan menanyainya.

“Ada apa?” tanya Kyai, bingung. Santri-santri juga tak kalah bingung.

Setelah bisa ditenangkan, santri itu baru bisa berkata-kata. Itu pun masih disertai isak tangisnya.

“Maaf, Yai,” ujarnya memohon.

Semua semakin bingung.

“Saya ndak akan tidur di situ lagi,” ujarnya sambil menunjuk mihrab masjid.

“Memangnya kenapa?” tanya salah satu santri.

“Saya ndak tahu, bangun-bangun sudah di tengah kuburan sana,” tuturnya.

Semua terkejut. Wajah-wajah ketakutan jelas tergambar meski gelap masih menyelimuti halaman masjid.

Santri yang semalam melihat anak itu sudah tak di mihrab bergidik. Sementara Yai dan santri-santri yang lain memandangnya penuh tanya.

 

*Sumber foto: https://hellosehat.com/hidup-sehat/psikologi/phobia-takut-disentuh/
**Setiap artikel/opini yang dimuat di NU Pinggiran menjadi tanggung jawab penulisnya. NU Pinggiran hanya kanal informasi dari setiap kontributor.