Indonesia punya banyak pengalaman menjaga keberagaman. Mulai suku, agama, sampai pilihan politik.

Kita memang tak selalu berhasil mengelolanya. Kadang gesekan dan konflik pecah. Tapi sampai sejauh ini tak ada konflik yang tak berhasil diselesaikan.

Namun, pengalaman panjang bukan jaminan. Ancaman konflik seperti terjadi di Timur Tengah tetap nyata. Khususnya di Suriah.

Baca juga:
Waspada, Hoax Bisa Menghancurkan Sebuah Negara! 
Tabayyun: Agar Hoax Tak Merajalela dan Memakan Korban

Kalau melihat benih-benih perang sipil di Suriah kita sekarang sepatutnya khawatir. Sebab benih-benih itu kini juga menyebar di Indonesia.

Benih-benih itu adalah cara pandang dan gerakan keislaman yang ekstrem. Yang intoleran dan sangat kaku dalam menyikapi keberagaman.

Sebelum pecah perang, anasir-anasir itu sudah mendominasi di Suriah. Bentuknya berupa pidato, khutbah, atau ceramah. Pamflet, buklet, juga buku. Yang isinya sangat politis.

Belajar dari Suriah, sejumlah pihak di negara kita menginginkan hal yang sama. Yaitu mula-mula dengan bersikap kritis terhadap Pemerintah.

Tentu saja ini tak melanggar hukum. Sama dengan di Suriah. Undang-undang mereka pun melindungi kebebasan menyampaikan pendapat.

Tapi kritik-kritik ini kemudian berubah. Menjadi gerakan yang terus menampakkan kegagalan Pemerintah.

Prestasinya tak pernah disinggung. Keburukannya terus-menerus dimunculkan.

Pada saatnya, gerakan ini menjelma gelombang yang menghendaki pemberhentian presiden. Dari sini kita mafhum mengapa sejumlah pihak khawatir Indonesia bernasib seperti Suriah.

Logika umum kini dijungkirbalikkan. Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang berkampanye untuk mengganti ideologi negara dibela. Hanya karena mereka selalu bicara dengan bungkus agama. Apalagi setelah Presiden membukarkannya.

Orang-orang yang tak jelas kapasitasnya diberi panggung. Di masjid-masjid dan televisi mereka berkhutbah. Mengutuk ini dan itu, termasuk pemimpinnya sendiri. Gelar ustadz diobral. Siapa pun yang bisa merapal satu-dua ayat boleh menggunakannya.

Rakyat Indonesia tak perlu saling berperang. Apalagi sampai tujuh tahun seperti bangsa Suriah. Hanya untuk mengerti apa yang sedang terjadi dan siapa biang keroknya.

Kini Suriah mulai menata kembali negerinya. Kementerian Wakaf atau Kementerian Agama-nya kini diberi wewenang lebih luas. Yaitu melakukan pengawasan terhadap ulama yang mengambil platform keagamaan dengan maksud politik.

Peraturan tersebut diharapkan bisa meredam potensi konflik sesama anak bangsa. Sehingga ujaran kebencian, tindakan main hakim sendiri, dan konflik horizontal tak terjadi.

Suriah membayar mahal masa lalunya dengan mengorbankan masa depannya. Kita bangsa Indonesia harus bisa belajar. Bahwa keberadaan suatu kelompok harus betul-betul bersih dari agenda yang mengancam negara.

 

*Sumber foto: https://intpolicydigest.org/2014/04/03/syria-s-civil-war-assad-palestinians/
**Setiap artikel/opini yang dimuat di NU Pinggiran menjadi tanggung jawab penulisnya. NU Pinggiran hanya kanal informasi dari setiap kontributor.