Gus Helmi, teman mondok saya dulu, berkisah. Bahwa santri-santri zaman sekarang tak bisa disamakan. Dengan santri zaman dulu.

Santri sekarang tinggal di pesantren belum tentu karena ingin mencari ilmu. Tapi yang lain. Seperti agar tak tersangkut narkoba. Atau tawuran. Atau pergaulan bebas.

Ada juga orangtua santri yang memasukkan anaknya ke pesantren. Agar ada yang mendidik. Sebab mereka sibuk bekerja.

Tapi, itu tak buruk. Hanya kalau dicermati memang membawa dampak. Pada pesantren. Yaitu kualitas para santri dan lulusannya menurun.
Saya kemudian ingat tamsil yang dipakai oleh kyai kami. Belasan tahun lalu saat kami masih nyantri, beliau berkata. Bahwa dulu pesantren itu ibarat salon mobil. Mobil-mobil bagus berdatangan. Untuk dipercantik. Agar semakin cantik.
Dulu anak-anak yang baik diantar ke pesantren. Untuk dididik. Agar semakin baik. Hasilnya luar biasa. Banyak santri dan lulusan yang sesuai harapan Kyai.
Akhlaknya bagus. Ilmunya mumpuni. Ketika pulang dan terjun ke masyarakat, mereka bisa diterima.

Sekarang pesantren bukan lagi ‘salon mobil’ tapi bengkel. Mobil-mobil yang rusak dibawa ke sana. Untuk diperbaiki. Ada yang penyok. Ada yang ringsek. Ada pula yang mesinnya sulit diselamatkan.

Banyak santri zaman sekarang datang ke pesantren. Karena motivasi yang aneh-aneh. Seperti jadi rebutan orangtuanya yang bercerai. Atau ingin sembuh dari ketergantungan narkoba. Atau sembunyi dari kejaran orang yang mencarinya.

Orangtua menuntut pesantren bisa memperbaiki mereka. Mengembalikan ‘bodi’ mereka yang penyok atau ringsek. Dan menyembuhkan penyakit yang bercokol di mesinnya. Lalu berharap anak mereka sembuh. Seperti sedia kala.
Seperti mobil yang baru keluar dari pabriknya. Mesinnya bandel. Bodinya kinclong.

BACA JUGA:

Gus Dur dan Jasanya Mereformasi NU dan Pesantren

 

Semua orang boleh berharap. Dan di Indonesia, berharap tidak melanggar hukum. Bahkan seandainya harapan itu muluk.

Tapi, tidak semua santri zaman sekarang seperti mobil yang bermasalah. Banyak santri-santri baru yang kualitasnya bagus. Sebagian di antara mereka bahkan lebih berprestasi dibandingkan santri-santri zaman dulu.

Hanya saja tantangan mereka lebih besar. Lebih kompleks dibandingkan zaman dulu. Yaitu lingkungan. Santri zaman dulu tinggal di lingkungan yang satu suhu dengan mereka. Sedangkan santri zaman sekarang tidak. Sebab teman mereka lebih beragam.

Maka ada santri yang prestasinya moncer. Juara ini-itu. Tingkat provinsi. Dan nasional. Pada saat yang sama ada juga santri yang kurang ajar. Kepada gurunya. Bukan hanya membentak. Ada bahkan yang sampai melaporkannya ke polisi. Hanya karena sang guru menghukumnya.

Zaman berubah. Santri-santri pun ikut berubah.

Dulu orangtua mengantar anaknya mondok. Lalu bertanya kepada kyai, “Kitab apa yang dikaji?”
Sekarang orangtua menganggap pesantren seperti tempat penitipan anak. Saat bertemu kyai mereka bertanya, “Menu makannya apa?”

(Ahmad Abenabiel)

 

 

 

Setiap artikel/opini yang dimuat di NU Pinggiran menjadi tanggung jawab penulisnya. NU Pinggiran hanya kanal informasi dari setiap kontributor.