Pada acara sewindu haul Gus Dur di Ciganjur, Desember tahun lalu. Yenny Wahid bicara dan mengenang sang ayah.

Tentu, begitu banyak kenangan Yenny dengan ayahnya Gus Dur. Sebab, mulai sejak menjabat Ketua PBNU hingga jadi Presiden dan kemudian lengser. Yenny nyaris tak pernah absen menemani sang ayah.

Baca Juga: Majalah-majalah yang Disukai Gusdur

Namun pada peringatan sewindu haul Gus Dur itu, Yenny memokuskan ceritanya pada akhir tahun 2009. Menjelang ayahnya wafat.

Kisah yang dituturkan Yenny menunjukkan Gus Dur adalah sosok yang punya ketajaman bathin. Isyarat-isyarat yang diucapkan Gus Dur, kerap menjadi kenyataan.

Menikah

Yenny Wahid menikah pada 15 Oktober 2009. Dengan politisi Senayan dari Fraksi Gerindra, Dhorir Farisi. Mas kawinnya emas dan 40 ekor sapi.

Dhorir sendiri berdarah Madura, kelahiran Probolinggo dari pasangan H Maruf Hasyim dan Hj Ma’rufah.

Baca juga: Kenapa NU Tidak Mau Negara Islam

Kata Yenny. Sebenarnya dia dan Dhorir tidak berencana menikah di tanggal itu. Mereka telah merancang akan menikah pada 2010.

Namun ketika, niatan menikah di 2010 diutarakan Yenny kepada bapaknya. Gus Dur malah menyarankan pernikahan dipercepat. “Kenapa tidak tahun ini saja,” saran Gus Dur saat itu.

Yenny panik. Sebab, bila mengikuti saran sang ayah, waktu persiapan mepet. Yenny pun usul menikah di akhir tahun, bulan Desember.

Baca Juga: kisah Santri Sidogiri Meniru Tirakatan Syaikhona Kholil Bangkalan

Gus Dur rupanya juga tak setuju usul itu. Ia kemudian menyarankan agar menikah. “empat bulan lagi,” ucap Gus Dur.

Akhirnya ditentukanlah tanggal pernikahan itu: 15 Oktober 2009. Dua bulan kemudian, Yenny paham kenapa sang ayah tak mau dia menikah di akhir tahun. Ternyata itu adalah isyarat bahwa Gus Dur akan meninggal, tepat pada 30 Desember 2009.

Nama

Setelah menikah dan lantas hamil muda. Yenny sempat mengutarakan pada sang ayah. Ingin menamai anaknya dengan nama kakeknya yaitu Abdurrahman.

Baca Juga: Gaya Millenial ala Yenny Wahid

Mendengar itu Gus Dur hanya merespon dengan tawa. Namun sebagai anak yang paling dekat dengan sang ayah. Yenny paham betul, ekspresi tawa sang ayah kala itu adalah ekspresi tidak setuju.

Ketika Yenny melahirkan, dia baru paham kepada ayahnya tak setuju dinamai Abdurrahman, sebab Yenny melahirkan bayi perempuan. ” Tak mungkin kan dinamai Abdurrahman,” kenang dia.