Setiap agama memiliki klaim kebenaran (truth claim). Ini bisa dimengerti. Tanpa klaim kebenaran, suatu agama tak akan menarik pengikut.

Dalam ranah keyakinan (akidah) klaim kebenaran bisa diterima. Sebab bersifat personal. Tapi dalam ranah sosial sering menimbulkan masalah.

Baca juga:

Islam punya jawaban bagi masalah ini. Dalam keyakinannya muslim tidak boleh membenarkan agama lain. Tapi dalam pergaulan sosialnya ia boleh menerima keberadaan penganut agama lain.

Seorang muslim wajib menghormati pemeluk agama lain. Bekerjasama dengan mereka diperbolehkan. Berlaku adil pada mereka malah diwajibkan. Jika mereka tidak memerangi.

Tidak mengusir umat Islam dari rumahnya. Atau membantu pihak lain mengusir mereka dari kampungnya.

Lakum dinukum waliya din, bagimu agamamu dan bagiku agamaku.” Begitu Al-Qur`an menjelaskan.

Sebagai manusia, kita memang diciptakan beragam. Ada Arab. Ajam. Jawa. Minang. Muslim. Non-muslim.

Berbeda Itu Biasa

Kita dilarang memusuhi orang lain hanya karena berbeda. Sebab itu berarti kita tidak ridha dengan kenyataan. Yang juga berarti tidak ridha dengan sunnatullah.

Semasa hidupnya Nabi sering bersinggungan dengan non-muslim. Berniaga dengan mereka. Berteman. Bertetangga. Bahkan keluarga beliau ada yang setia dengan agama lamanya.

Paman beliau namanya Abu Thalib. Non-muslim. Paling-tidak sampai menjelang ajal. Pamannya yang lain namanya Abu Lahab. Non-muslim juga. Yang ini sangat memusuhi Nabiullah.

Menariknya, Nabi tetap hormat padanya. Mau menjenguk ketika ia sakit. Tapi karena tak mendapat hidayah, ia tetap menolak Islam. Sampai Allah menurunkan surah. Berjudul namanya.

Kalau mau, Allah menciptakan manusia muslim seluruhnya. Tapi tidak. Allah ingin menunjukkan kebijaksanaannya. Dengan menjadikan manusia bermacam-macam. Entah suku bangsa atau agamanya.

Al-Qur`an menyebutkan itu agar kita saling mengenal. Liyata’arafu. Dengan mengenal orang yang berbeda, kita akan memahami mereka seutuhnya.

Kalau kita sudah mengenal orang lain, kita akan mengenal diri sendiri. Dengan lebih baik. Saat sudah bisa mengenal diri sendiri, kita akan mengenal Allah.

Man ‘arafa nafsah faqad ‘arafa rabbah. Orang yang mengenal dirinya sendiri sungguh telah mengenal Tuhannya.

Akar-akar Intoleransi

Persoalan zaman sekarang sering muncul karena intoleransi. Intoleransi bermula dari ketaktahuan. Dan ketaktahuan berakar dari ketakpedulian.

Orang yang tak peduli menganggap semuanya wajar. Akhlaknya rusak ia anggap biasa. Ilmu agamanya kurang ia nilai cukup. Hidupnya kacau ia anggap baik-baik saja.

Ia tidak tahu bahwa dirinya penuh kekurangan. Bahwa pengetahuannya masih sempit. Cara pandangnya ketinggalan. Sikap dan perilakunya sesuka hati.

Ini terbawa ketika ia berjumpa dengan orang yang berbeda. Ia berkata-kata tanpa dasar. Dan bertindak tanpa pertimbangan. Yang akhirnya menyinggung perasaan mereka. Atau memunculkan kebencian di hatinya.

 

Setiap artikel/opini yang dimuat di NU Pinggiran menjadi tanggung jawab penulisnya. NU Pinggiran hanya kanal informasi dari setiap kontributor.